Akhlak Baik dan Akhlak Buruk

AKHLAK atau budi pekerti tempatnya di dalam hati. Ia adalah “sentral komando” perilaku manusia. Karenanya, akhlak menjadi “sasaran utama” risalah Islam. Rasulullah Saw menegaskan: “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak (manusia)”.
Akhlak adalah penentu baik-buruk perilaku seseorang. Fondasi akhlak yang membawa kebaikan amal perbuatan adalah dzikrullah, yakni selalu mengingat Allah SWT dalam segala posisi dan kondisi, sehingga keridhaan-Nya (mardhotillah) menjadi acuan perilaku. Dzikrullah adalah dasar akhlak mulia, bersama sifat pemaaf, suka mengajak kepada kebenaran, berpaling dari orang-orang bodoh, suka berlindung kepada Allah SWT dari godan setan (Q.S. 7:199-201).
Ada dua macam akhlak: akhlak mulia (akhlaqul karimah) atau akhlak terpuji (akhlaqul mahmudah) dan akhlak tercela (akhlaqul madzmumah). Akhlak mulia adalah cerminan kesungguhan iman. Sebaliknya, akhlak tercela merupakan refleksi lemahnya keimanan.
“Seorang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling mulia akhlaknya” (HR Tirmidzi).
Akhlak Mulia
Akhlak mulia --disebut pula husnul khuluq (perangai baik)-- adalah segala sifat, watak, dan perilaku yang sangat disukai Allah SWT dan disukai pula oleh manusia. Akhlak mulia wajib dimiliki dan diamalkan. Tergolong akhlak mulia antara lain sebagai berikut:
1.Berbicara yang baik.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara yang baik atau (jika tidak demikian) hendaklah diam” (H.R. Bukhari dan Muslim).
“Seorang mukmin tidak menuduh, melaknat, tidak berkata kotor, dan tidak mencela” (HR Tirmidzi).
Ciri-ciri pembicaraan yang baik adalah isinya bermanfaat, mengandung hikmah atau kebajikan, membuat senang pendengarnya, atau tidak menyakiti hati orang lain atau tidak membuat orang lain marah.
Pembicaraan yang baik juga bercirikan penggunaan kata-kata yang benar, baku, atau sesuai kadiah bahasa yang berlaku (qaulan sadida, Q.S. 4:9), kata-kata yang tepat sasaran, komunikatif, atau mudah dimengerti (qaulan baligha, Q.S. 4:63), serta mengunakan kata-kata yang santun, lemah-lembut, atau tidak kasar dan tidak vulgar (qaulan karima, Q.S. 17:23).
2.Berkata jujur atau benar (shidqi).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
3.Malu (Haya’).
“Malu itu sebagian dari iman” (HR Muttafaq ‘Alaih).
“Sesungguhnya sebagian yang didapatkan manusia dari perkataan nabi-nabi terdahulu ialah ‘Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!’” (HR Bukhari).
Malu adalah perasaan untuk tidak ingin direndahkan atau dipandang buruk oleh pihak lain. Jadi, malu adalah persoalan harga diri atau gengsi. Malu yang paling utama adalah malu kepada Allah SWT sehingga tidak berbuat sesuatu yang melanggar aturan-Nya. Malu kepada manusia harus dalam konteks malu kepada-Nya.
4.Rendah Hati (Tawadhu’).
Rendah hati adalah perasaan inferior, lemah, tidak punya kekuatan atau keistimewaan apa-apa dan kecil di hadapan Allah Yang Mahabesar. Rendah hati akan membuat seseorang tidak berlaku sombong atau takabur, tidak memandang dirinya mulia. Fadhil bin Iyadh mengatakan, tawadhu’ ialah tunduk kepada kebenaran dan mengikutinya, walaupun kebenaran itu datang dari seorang anak kecil dan orang paling bodoh.
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati...” (Q.S. Al-Furqon:63).
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku: hendaklah kamu merendahkan hati supaya tidak ada yang saling melewati batas dan tidak saling menyombongkan diri” (HR Muslim).
“Tidaklah seseorang rendah hati melainkan Allah tinggikan derajatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
5.Senyum/Manis Muka.
Senyum adalah suatu kebajikan dan sama dengan ibadah sedekah. Rasulullah Saw sangat menganjurkan umatnya agar murah senyum, atau bermuka manis. Menyenangkannya senyum dapat kita rasakan tatkala melihat keramahan orang lain pada kita. Sebaliknya, sukakah kita melihat orang cemberut dan bermuka masam terhadap kita?
“Kamu tidak bisa meratai (memberi semua) manusia dengan harta-hartamu, tetapi hendaklah bermanis muka (bastul wajhi) dan perangai yang baik dari kamu meratai mereka” (HR Abu Ya’la).
"Janganlah meremehkan suatu kebajikan sedikit pun, walau hanya sekadar menyambut kawan dengan muka manis" (HR Muslim)
"Senyummu untuk saudaramu adalah sedekah" (HR Bukhari).
6.Sabar
Bersabar dalam pergaulan adalah sifat mukmin sejati. Dalam bergaul kita menemui banyak orang dengan ragam watak dan perilakunya: ada yang menyenangkan, ada pula yang menyebalkan; ada yang pemarah dan angkuh, ada pula yang pemaaf dan rendah hati. Terhadap yang tidak menyenangkan atau menyebalkan, juga yang suka mengganggu, kita diharuskan bersabar menghadapi sikap mereka.
“Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih baik daripada yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka” (HR Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Sabar merupakan jalan untuk mendapatkan pertolongan Allah SWT di samping shalat. "Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar" (Q.S. 2:153).
Dalam pengertian dan pengamalan keseharian, sabar cenderung berarti "menahan emosi", "menahan marah", atau "menahan diri" untuk tidak tergesa-gesa bertindak mengikuti keinginan perasaan. Imam Al-Ghazali mengatakan, "sabar adalah suatu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu yang tumbuhnya adalah atas dorongan ajaran agama".
Dalam sebuah haditsnya, Nabi Saw mengakui adanya tingkatan-tingkatan kesabaran, yaitu (1) sabar dalam menghadapi musibah, (2) sabar dalam mematuhi perintah Allah SWT, dan (3) sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat. Sabar yang pertama merupakan kesabaran terendah, yang kedua merupakan tingkat pertengahan, dan yang ketiga merupakan kesabaran tertinggi (HR Ibnu Abi ad-Dunia).
Sabar atas musibah (shabr 'ala al-mushibah) maksudnya adalah bersikap pasrah atau berserah diri (tawakal) pada Allah SWT ketika menghadapi atau mengalami suatu musibah. Sabar dalam mematuhi perintah Allah SWT (shabr 'ala ath-tha'ah) maksudnya adalah bersikap sabar atau "siap menderita" dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat (shabr 'ala al-ma'shiyah) maksudnya adalah menahan diri dari segala godaan dan cobaan yang dapat membawa ke dalam perbuatan maksiat atau dosa.
6.Kuat atau Tahan Banting.
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah” (HR Muslim).
Kuat artinya memiliki ketahanan mental dan fisik yang tinggi. Tidak mudah putus asa, tidak suka mengeluh, dan sehat jasmani-rohani. Kuat juga bisa dimaknai unggul dan berkualitas. “Janganlah berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum kafir” (Q.S. 12:87).
7.Pemaaf, Tidak Dendam.
Memaafkan kesalahan manusia (‘afina ‘aninnas) dan menahan amarah adalah ciri orang bertakwa (Q.S. 3:134).
“Allah tidak akan menambah seseorang yang suka memberi maaf melainkan dengan kemuliaan” (HR Muslim).
“Bersikaplah pemaaf maka Allah akan memuliakanmu” (HR Ibnu Abi Dunya).
“Orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang paling menaruh dendam-kesumat” (HR Bukhari dan Muslim).
“Maafkanlah orang yang menzhalimimu” (HR Ahmad dan Thabrani).
8.Menahan Amarah.
Marah dapat membawa malapetaka. Orang sedang marah dikuasai hawa nafsu dan setan. Pikirannya menjadi tidak jernih, tidak bersih. Akalnya menjadi tidak berfungsi normal. Tentu hal itu bisa mendorong orang yang sedang marah itu, jika tidak bisa mengendalikan diri, pada perbuatan yang akan disesalinya, mengikuti hawa nafsu, lepas kedali diri.
"Bukanlah orang yang gagah perkasa namanya ia yang kuat bergulat, tetapi yang disebut gagah perkasa itu ialah orang yang dapat mengendalikan nafsunya (dirinya) ketika sedang marah" (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk meredam marah, Rasulullah Saw mengajarkan agar berwudhu.
"Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan, dan setan itu dijadikan dari api. Sesungguhnya api itu dapat dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang di antaramu marah, berwudhulah" (H.R. Abu Daud).
9.Zuhud
Ketika seorang sahabat meminta nasihat tentang amal yang disukai Allah dan manusia, Nabi Saw menegaskan: “Berzuhudlah dari dunia, niscaya Allah menyukaimu dan zuhudlah dari apa yang di tangan manusia, niscaya manusia menyukaimu” (HR Ibnu Majah).
Zuhud adalah sikap tidak terlalu mencintai dunia, bahkan membencinya dalam batas-batas yang wajar. Menurut Nabi Muhammad Saw: “Zuhud di dunia tidak mengharamkan yang halal dan tidak membuang harta...” (HR Tirmidzi).
Zuhud adalah sikap sederhana atau proporsional terhadap kenikmatan dunia. Kecintaannya terhadap perhiasan dunia (harta, tahta) tidak berlebihan. “Celakalah penyembah dinar dan dirham dan kain beludru...” (HR Bukhari). Zuhud membuat seseorang tidak merasa senang berlebihan menerima harta dan merasa sedih kehilangan sesuatu (Q.S. Al-Hadid:23).
10.Qona’ah
Qona’ah yaitu merasa cukup dengan rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Sikap demikian membuatnya tenang dan senantiasa mensyukuri pemberian-Nya, sedikit ataupun banyak.
“Bukanlah orang kaya itu yang banyak hartanya, melainkan yang kaya jiwanya (hatinya)” (HR Bukhari dan Muslim).
“Sungguh berbahagia orang yang mendapatkan hidayah Islam dan penghidupannya sederhana dan tenang menerima apa yang ada” (HR Tirmidzi).
“Sungguh berbahagialah orang yang yelah masuk Islam dan diberi rezeki cukup, lalu merasa cukup terhadap apa-apa yang diberikan Allah kepadanya” (HR Muslim).
“Seungguh berbahagialah seorang Muslim yang diberi kecukupan rezeki dan rela menerima pemberian Allah” (HR Muslim).
11.Wara’
Wara’ adalah menjauhi barang syubhat karena takut jatuh kepada keharaman. Syubhat sendiri artinya tidak dapat dipastikan halal-haramnya (berada antara halal dan haram). Nabi Saw mengatakan, siapa yang menjauhi syubhat berarti ia membersihkan diri dan agamanya. Siapa yang mendekati syubhat, maka dikhawatirkan termasuk pada hal haram (HR Muttafaq ‘Alaih).
12.Suka Menolong.
Menolong artinya membantu orang yang sedang dalam kesulitan (meringankan bebannya), baik kesulitan ekonomi maupun kesulitan dalam urusan lain selama berada pada garis kebaikan dan takwa (birri wat taqwa). Termasuk menolong orang lain adalah menutupi aibnya sehingga tidak membuatnya malu.
“Siapa yang menghilangkan kesempitan orang mukmin dalam masalah dunia, maka Allah akan mengilangkan kesempitannya besok di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang dalam kesulitan, maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutupi aib orang mukmin, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan tetap menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya” (HR Muslim).
B. Akhlak Tercela
Akhlak tercela atau perangai buruk (su-ul khuluq) adalah sifat, sikap, atau perilaku yang dibenci Allah SWT dan merusak hubungan harmonis dengan sesama manusia. Akhlak tercela wajib dijauhi umat Islam.
Dalam Q.S. 49:12 kita dapati larangan Allah SWT untuk berperangai buruk, berupa menghina atau mengolok-olok orang lain, mencela sesama mukmin, memanggil seseorang dengan nama panggilan yang buruk atau tidak disukai yang dipanggil, berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus), serta bergunjing atau membicarakan aib orang lain.
Berikut uraian singkat sifat-sifat atau perilaku yang tergolong perangai buruk yang dilarang Islam.
1.Menghina.
Menghina adalah mengeluarkan kata-kata yang merendahkan dan menyakiti hati orang lain, termasuk mengolok-olok, mencela, melaknat/mengutuk, memaki, dan mengejek.
“Cukuplah kejelekan seseorang jika ia menghina saudaranya yang Muslim” (HR Muslim).
“Memaki sesama Muslim itu kedurhakaan,” (HR Muttafaq ‘Alaih).
“Mukmin itu bukanlah pencela dan bukan pelaknat dan bukan yang jelek perangai dan bukan yang kotor lidah” (HR Ibnu Mas’ud).
“Barangsiapa yang mengejek saudaranya lantaran satu dosa, tidak ia mati melainkan melakukan dosa itu” (HR Tirmidzi).
Celaan tidak saja dilarang dalam hubungan antar manusia, bahkan kepada makanan pun dilarang. Ketika ada makanan yang tidak kita sukai yang disajikan buat kita, jangan dicela. Rasulullah Saw sama sekali tidak pernah mencela makanan. Bila beliau menyukainya, beliau memakannya. Dan jika beliau tidak menyukainya, maka ditinggalkannnya makanan tersebut (HR Ahmad dari Abu Hurairah).
2.Buruk sangka (su-uzhan).
“Jauhilah buruk sangka karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta omongan” (HR Muttafaq ‘Alaih).
Buruk sangka itu menuduh atau memandang orang lain dengan “kacamata hitam” atau negative thinking, seraya menyembunyikan kebaikan mereka dan membesar-besarkan keburukan mereka.
3.Bergunjing (Ghibah).
Pada malam Isra' --dalam rangkaian peristiwa Isra Mi'raj-- Nabi Muhammad Saw melewati suatu kaum yang sedang mencakar-cakar wajah mereka sendiri dengan kukunya. Nabi Saw bertanya kepada Malaikat Jibril yang mendapinginya waktu itu, "Apa itu Jibril?". Malaikat penyampai wahyu Allah itu menjawab, "Itulah gambaran orang yang suka menggunjing sesamanya (ghibah)".
Ghibah adalah membicarakan kejelekan atau aib orang lain atau menyebut masalah orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi.
Oleh Allah SWT ghibah diidentikkan dengan "memakan daging mayat saudara sendiri" (Q.S. al-Hujurat:12). Meskipun kejelekan atau kekurangan orang lain itu faktual, benar-benar terjadi alias sesuai dengan kenyataan, tetap saja itu ghibah.
Contoh ghibah banyak sekali. Bahkan ketika kita mengatakan "pendek amat orang itu" misalnya, itu termasuk ghibah. Diriwayatkan, ketika Siti Aisyah memberikan isyarat dengan tangannya tentang seorang wanita yang pendek, Rasulullah Saw bersabda, "Kamu menggunjingnya?".
Ghibah termasuk akhlak tercela. Tersirat di dalamnya perbuatan tercela lain seperti sombong, merasa diri paling baik dan benar, serta menghina orang lain. Ketercelaan ghibah dapat dirasakan betapa tersinggung perasaan kita, atau sakit hatinya kita, bahkan betapa marahnya kita, jika kejelakan dan kekurangan kita dibicarakan orang lain.
Namun demikian, tidak selamanya ghibah itu dilarang. Al-Hasan sebagaimana dikutip Imam Al-Ghazali menyebutkan, "Ada tiga golongan tidak termasuk menggunjing jika menyebut aib mereka, yaitu orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang melakukan kefasikan secara terang-terangan, dan pemimpin yang menyeleweng". Memperingatkan sesama Muslim atas kejahatan seseorang pun termasuk ghibah yang dibolehkan.
4.Dengki
Hasad merupakan sikap batin, keadaan hati, atau rasa tidak senang, benci, dan antipati terhadap orang lain yang mendapatkan kesenangan, nikmat, memiliki kelebihan darinya. Sebaliknya, ia merasa senang jika orang lain mendapatkan kemalangan atau kesengsaraan. Sikap ini termasuk sikap kaum Yahudi yang dibenci Allah (maghdhub).
"Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya..." (Q.S. 3: 120).
"Janganlah kamu mengharap-harapkan sesuatu yang telah dilebihkan Allah pada sebagian darimu atas sebagian yang lain" (Q.S. 4:32).
"Hindarilah hasad, karena sesungguhnya hasad itu menghapus semua amal kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar" (H.R. Abu Daud).
"Janganlah kalian saling benci, jangan bersikap hasad, jangan saling membelakangi, dan jangan bermusuhan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang besaudara!" (H.R. Bukhari dan Muslim).
"Tidak boleh hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah lalu dipergunakan untuk kebaikan sampai habisnya harta itu, dan kepada seseorang yang dikaruniai ilmu oleh Allah lalu ia menggunakannya serta mengajarkannya pada orang lain" (H.R. Bukhari dan Muslim).
Sikap hasad ini berbahaya karena dapat merusak nilai persaudaraan atau menumbuhkan rasa permusuhan secara diam-diam. Hasad juga dapat mendorong seseorang mencela, menjelek-jelekkan, dan mencari-cari kelemahan atau kesalahan orang lain dan menimbulkan prasangka buruk (suudzan).
5.Serakah
Serakah atau tamak yaitu sikap tidak puas dengan yang menjadi hak atau miliknya, sehingga berupaya meraih yang bukan haknya. Setiap orang berpotensi bersikap serakah.
"Jika seseorang sudah memiliki dua lembah emas, pastilah ia akan mencari yang ketiganya sebagai tambahan dari dua lembah yang sudah ada itu" (H.R. Bukhari dan Muslim).
"Jika seorang anak Adam telah memiliki harta benda sebanyak satu lembah, pasti ia akan berusaha lagi untuk memiliki dua lembah. Dan andaikata ia telah memiliki dua lembah, ia akan berusaha lagi untuk memiliki tiga lembah. Memang tidak ada sesuatu yang dapat memenuhi keinginan anak Adam kecuali tanah (tempat kubur, yakni mati). Dan Allah akan menerima tobat mereka yang bertobat" (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi).
Sikap serakah dapat mendorong orang mencari harta sebanyak-banyaknya dan jabatan setinggi-tingginya, tanpa menghiraukan cara halal atau haram.
Keserakahan pun dapat membuat seseorang bersikap kikir alias tidak dermawan dan tidak peduli akan nasib orang lain. Serakah dan tamak telah membinasakan kaum sebelum umat Muhammad Saw.
“Jauhkanlah kikir dan tamak, karena hal itu telah membinasakan orang-orang sebelum kamu” (HR Muslim).
6.Kikir (Bakhil).
Kikir adalah penyakit hati. Sifat kikir ini bersumber dari ketamakan, cinta dunia, atau suka kemegahan. Orang yang terbebas dari sifat kikir termasuk orang beruntung (Q.S. Al-Hasyr:9).
“Dua perkara tidak akan berkumpul pada seorang mukmin: sifat kikir dan perangai jelek” (HR Tirmidzi).
7.Riya’
Riya’ adalah sikap ingin dipuji orang lain. Lawan ikhlas ini haram hukumnya. Nabi Saw menyebutnya sebagai syirik kecil (syirkul ashgar).
“Sesungguhnya yang aku paling takuti atas umatku adalah syirik kecil, yaitu riya’” (HR Ahmad).
Riya’ merupakan lawan atau kebalikan dari ikhlas (semata-mata karena Allah SWT). Ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal-ibadah oleh Allah SWT (maqbul). "Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali agar beribadah pada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) pada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus..." (Q.S. Al-Bayinah:5, juga Q.S. 4:146, 7:29, Az-Zumar:2,11, 2:139, Luqman:32).
8.Berdusta
Berkata dusta adalah salah satu ciri kaum munafik, selain mengkhianati kepercayaan dan mengingkari janji (HR Bukhari dan Muslim).
“Dan jauhilah perkataan dusta” (Q.S. 22:30).
“Jauhilah kedustaan karena sesungguhnya kedustaan (kadzib) itu memimpin kepada kedurhakaan dan kedurhakaan membawa ke neraka” (HR Muttafaq ‘Alaih).
9.Bermusuhan.
Bermusuhan adalah sikap bertentangan dengan semangat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dalam Islam). Orang Muslim harus menjauhi saling bermusuhan.
“Janganlah kamu saling benci dan saling berpaling muka” (HR Muslim).
“Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya ((tidak saling bicara) selama lebih dari tiga hari, keduanya bertemu lalu saling berpaling muka (bermusuhan). Yang paling baik di antara mereka adalah yang memulai mengucapkan salam (mengajak damai)” (HR Bukhari dan Muslim).
“Janganlah kamu putus-memutuskan hubungan baik, belakang-membelakangi, benci-membenci, hasad menghasad. Hendaklah kamu menjadi hamba Allah yang bersaudara satu sama lain dan tidak halal bagi Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari” (HR Bukhari dan Muslim).
10. Mengadu-domba (Namimah).
Mengadu-domba adalah mendorong dua pihak atau lebih untuk saling bermusuhan.
“Tidak akan masuk sorga orang yang memutuskan persaudaraan (mengadu domba)” (HR Muttafaq ‘Alaih).
“Maukah kamu aku beritahukan tentang ‘adh-hu? Yaitu mengumpat, mengadu-domba dengan omongan di antara manusia” (HR Muslim).
11. Sombong.
Sombong (takabur) adalah merasa bangga pada diri sendiri, merasa paling baik atau paling hebat, dan merasa paling benar sehingga menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku...” (Q.S. Al-A’raf: 146).
“Barangsiapa merasa besar (bangga) pada dirinya dan sombong di dalam jalannya, niscaya dia bertemu Allah di dalam keadaan Allah murka kepadanya” (Q.S. Hakim dari Ibnu Umar).
“Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya menyelinap sifat sombong” (HR Muslim dan Tirmidzi).
“Tiga perkara yang merusak manusia: perangai kikir yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diikuti, dan bangga pada diri sendiri (sombong)” (HR Thabrani).
12. Nongkrong di pinggir jalan (Julus ‘Ala ath-Thuruqat).
“Jauhilah duduk di jalan-jalan (nongkrong). Mereka berkata: ‘Ya Rasulallah! Kami terpaksa memerlukan tempat-tempat duduk yang kami beromong-omong padanya (nongkrong di jalan sambil ngobrol)’. Sabada Nabi: ‘Jika kamu enggan, berilah kepada jalan itu haknya!’ Mereka bertanya: ‘Apakah hak itu?’ Sabdanya: ‘Menundukkan pandangan (dari perempuan yang lewat), tidak mengganggu (pelalu-lalang), membalas salam, dan mengajak pada kebaikan serta mencegah kemunkaran” (HR Muttafaq ‘Alaih).*

Artikel Islam Media Network Lainnya :

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2017 Islam Media Network